Jahatnya Echo Chamber & Cara Kerja Recommendation Engine Media Sosial dalam Konteks Pemilihan Capres 2024

Datasans
4 min readFeb 13, 2024

--

Pernah bertanya-tanya kenapa pendukung 02 batu kalo dikasih fakta tentang sisi negative 02? begitupula sebaliknya, 01 dan 03, yang cenderung akan menolak semua dosa-dosa dari pasangan capres 01 dan 03.

Ini berkaitan dengan efek echo chamber yang terjadi pada penggunaan media sosial.

Fakta sejelas dan senyata apapun, selalu punya sisi kutub yang berlawanan. Dan jahatnya media sosial, algoritma mereka tidak merekomendasikan dan tidak peduli konten mana yang benar, mereka hanya merekomendasikan konten yang menguntungkan mereka, yang memiliki peluang ditonton paling tinggi, yang diukur menggunakan screen time, likes, saves, dll. Konten yang direkomendasikan adalah konten yang terbukti valid dan statistically significant menyenangkan dan mengenyangkan users itu dan sudah terbukti di users lain yang memiliki interest yang sama dengannya.

Efek echo chamber ini muncul karena cara kerja recommendation engine atau algoritma rekomendasi media sosial yang cenderung memperkuat bias dan preferensi pengguna. Algoritma ini dirancang untuk memaksimalkan engagement pengguna dengan cara menyajikan konten yang paling mungkin disukai atau menarik bagi mereka, berdasarkan data historis interaksi mereka di platform tersebut. Sebagai hasilnya, pengguna sering kali hanya terpapar pada ide, opini, atau informasi yang menguatkan pandangan mereka sendiri, tanpa terpapar pada perspektif yang berbeda atau berlawanan.

Dalam konteks pemilihan presiden (capres) 2024, praktik ini bisa memperdalam polarisasi politik. Users yang sudah memiliki kecenderungan mendukung salah satu calon akan terus menerus diberi makan konten yang mendukung pandangan mereka, sementara informasi yang menentang atau mengkritik calon tersebut akan jarang atau bahkan tidak pernah muncul di feed mereka. Ini menciptakan sebuah lingkungan informasi yang sangat tersegmentasi, di mana pengguna mungkin percaya bahwa pandangan mereka adalah yang paling dominan dan benar, karena itulah yang terus mereka lihat dan interaksikan.

Atau dalam kasus pemilihan capres Amerika, kalo pernah denger kasus Cambridge Analytica. Kenapa Trump bisa menang dan para pendukungnya baru sadar setelah kebobrokannya terjadi ketika Trump memimpin? Mereka menggunakan data historis users untuk menggiring dan menguatkan opini yang mendukungnya. Ekstremnya: sejahat-jahatnya Hitler, kalo jaman dulu udah ada media sosial dan big data, pasti ada sentimen yang membuat orang berpandangan bahwa Hitler benar, heroik, dan akhirnya mendukungnya secara buta. Inilah the power of big data driven.

Kasus Cambridge Analytica dan pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 menyoroti bagaimana data pengguna dan algoritma rekomendasi digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan hasil pemilihan secara sangat efektif. Cambridge Analytica mengumpulkan data dari jutaan pengguna Facebook tanpa persetujuan mereka dan menggunakan informasi tersebut untuk membuat profil psikografis yang detail. Profil ini kemudian digunakan untuk menyasar pengguna dengan konten politik yang sangat spesifik dan dirancang untuk mempengaruhi pendapat mereka atau memotivasi mereka untuk beraksi dalam cara yang mendukung kampanye Donald Trump.

Strategi ini efektif karena memanfaatkan kecenderungan manusia untuk lebih responsif terhadap pesan yang sesuai dengan pandangan dan kepercayaan mereka yang sudah terbentuk. Dengan menyesuaikan pesan secara presisi berdasarkan profil psikologis individu, konten dapat memicu emosi, memperkuat bias, dan memperdalam keyakinan tanpa terpapar pada informasi yang kontradiktif atau counter terhadap pandangan tersebut. Dalam banyak kasus, teknik ini tidak hanya menguatkan dukungan tetapi juga menciptakan polarisasi yang lebih dalam dan mengurangi ruang untuk dialog. Mungkin ketiga capres kita tidak sampai membayar dan take contract dengan pihak medsos seperti tiktok atau instagram. Tapi dengan budget yang sangat-sangat banyak untuk membayar buzzer, data/opinion driven akan bisa terbentuk dengan cara yang sama.

Kemarin, “Dirty Vote” dirilis. Film “Dirty Vote” adalah sebuah dokumenter yang membahas dugaan praktik kecurangan dalam pemilihan umum 2024. Kami tahu betul bahwa para “all in 02” yang kemungkinan dirugikan karena dokumenter itu lebih banyak membahas kecurangan di pihak 02, instead of nonton filmnya, mereka akan nonton rekomendasi konten yang justru membahas konspirasi dibalik produksi film itu. Apakah berhasil? yes, most likely, karena konten yang direkomendasikan tervalidasi secara statistik menggunakan sampel data sangat besar yang “menarik” bagi users yang terpolarisasi pada kubu 02. Konten2 ini jika ditonton akan menimbulkan efek “oh iya juga”, “wah anjing emang”, “film sampah”, dst. Jadi apakah efektif menyuruh para pendukung 02 untuk menonton dokumenter itu agar sadar dari genjutsunya? sayangnya engga. Dan bisa jadi memang kampanye terselubung.

Sama halnya konten-konten pro 01 dan 03. Apakah kamu bisa mempengaruhi mereka untuk mendukung 02? sayangnya, engga juga. Efek echo chamber sangat kuat, pembentukan opini dari rekomendasi konten berbasis statistik dengan data yang sangat besar ngga bisa dengan mudah kamu kalahkan. Ditambah dengan sisi denial dan defensive dari manusia secara natural, yang justru ngga suka kalo “digurui”. Perlu pertimbangan yang bijak dan jauh dari sentimen personal. Mereka akan membantah opini bahwa capres 01 memanfaatkan politik identitas, walaupun bisa jadi bukan dia dalangnya, hanya memanfaatkan keadaan. Dan capres 03 tidak lepas dari kasus Kendeng dan Wadas, walaupun bisa jadi bukan dia dalangnya, hanya mem-backup pemerintah, karena kita tahu pemerintah saat itu dipegang oleh partainya. Tapi bisa jadi memang 01 dan 03 juga penuh dosa.

Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk menentukan pilihan kita secara bijak?

  1. Jangan percaya pada influencers tanpa historis yang kredibel. Percayalah pada pakarnya, misalnya guru-guru besar di bidang politik, hukum, psikologis dll dari kampus-kampus terbaik dan tidak terafiliasi dengan pihak manapun. Kalo kamu merasa pertimbanganmu tidak cukup baik sebagai orang awam dan tidak cukup waktu luang untuk menganalisa dari kedua sisi. Karena pertama kali dalam sejarah Indonesia para guru besar lintas bidang dari puluhan kampus turun langsung, bukan mahasiswa yang masih bisa dipertanyakan keilmuan dan kredibilitasnya. Pasti ada something urgent. Lanjutkan dengan analisis secara mandiri. Bisa jadi mereka yang salah, kan(?).
  2. Buang sentimen personal. Seperti “wah kasian ya, padahal dia tulus”, “wah jahat banget si X dibully terus”. Kita tidak sedang berjudi, yang jika paslon dukungan kita menang, kita akan mendapat keuntungan yang besar (kecuali kamu artis / businessmen yang secara langsung akan mendapat impact-nya).
  3. Coba ganti polarisasi feed-mu, search konten-konten yang kontra dengan existing opinimu, tonton agar screen time meningkat, like, dan save. Maka echo chamber mulai berubah. Cek apakah benar-benar itu keyakinanmu yang sesungguhnya.
  4. Terakhir, open minded and be wise. Pilih yang paling bisa ditoleransi dosa2nya, dan integritasnya. Dan jangan berharap pada manusia.

Mudah-mudahan bangsa Indonesia dilindungi dari pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat, tidak humanis, dan berpotensi tidak bisa mendengar suara rakyat.

--

--

Datasans
Datasans

Written by Datasans

All things about data science that are discussed “sans ae”, data sains? sans lah…

No responses yet